Jumat, 29 Juli 2011

Perbedaan Penipuan dan Penggelapan

Sebenarnya apa sih beda penipuan dengan penggelapan? Bagi orang awam, mereka hanya mengenal satu kata yaitu penipuan. menjadi korban penipuan. jarang yang menggunakan kata penggelapan. Karena mungkin tidak semua masyarakat awam tahu akan perbedaannya. Penggelapan dan penipuan diatur dalam pasal-pasal yang berbeda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP
Penggelapan diatur dalam pasal 372 KUHP. Yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Misalnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut. Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas penitipan barang. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam penguasannya yang mana barang/ uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain. 
Sementara itu penipuan diatur dalam pasal 378 KUHP. Yaitu dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang. 
Dilihat dari obyek dan tujuannya, penipuan lebih luas dari penggelapan. Jika penggelapan terbatas pada barang atau uang, penipuan termasuk juga untuk memberikan hutang maupun menghapus piutang. Dalam perkara-perkara tertentu, antara penipuan, penggelapan agak sulit dibedakan secara kasat mata.

Sebagai contoh, si A hendak menjual mobil miliknya. Mengetahui hal tersebut B menyatakan kepada A bahwa ia bisa menjualkan mobil A ke pihak ketiga. Setelah A menyetujui tawaran B, kemudian ternyata mobil tersebut hilang. Dalam kasus seperti ini, peristiwa tersebut dapat merupakan penipuan namun dapat juga merupakan penggelapan. Termasuk sebagai penipuan jika memang sejak awal B tidak berniat untuk menjualkan mobil A, namun memang hendak membawa kabur mobil tersebut. Termasuk sebagai penggelapan jika pada awalnya memang B berniat untuk melaksanakan penawarannya, namun di tengah perjalanan B berubah niat dan membawa kabur mobil A. 

 source : www.hukumonline.com

Selasa, 26 Juli 2011

Cinto Jan Dibali




Cincin bamato dijari manih
Cincin siapo nan uda pakai
Tolong lah jawek tanyo den kini

Tarangah denai manahan tangih
Dagang lah tandeh pokok lah habih
Yang lain juo nan barasaki

Kini den tau cinto manduo
Nan uda tanam didalam dado
Denai disayang urang dicinto
Dek uda kayo lapeh kandaknyo

Pitih dapek dicari, budi jan dibali, cinto lai kadatang juo
Ondeh yo mak, pitih dapek dicari, budi jan dibali cinto lai kadatang juo

*) Bialah rambuik samo hitamnyo
Usah samokan den jo dirinyo
Denai ndak silau nan dek harato

Bukan lantaran dek roman rancak
Oi bukan silau ameh jo perak
Urang dijajah bak kato awak

Sungguahpun bumi lah jadi duo
Ombak mahampeh jadi bancano
Balum sasakik hati nan luko
Luko nan tiado paubeknyo

Kayo jan dibanggakan, cinto bukan dagangan, tinggakanlah denai surang
Ondeh yo mak, kayo jan dibanggakan, cinto bukan dagangan, tinggakanlah denai surang....
back to *)

Surat Dakwaan ft. Surat Tuntutan

"... agenda sidang hari ini adalah pembacaan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum.." kalimat itu pasti kita dengar dalam persidangan di pengadilan. Beberapa minggu kemudian "... agenda sidang hari ini adalah pembacaan surat tuntutan oleh jaksa penuntut umum..." 

Disini Saya mencoba berbagi tentang perbedaan surat dakwaan dengan surat tuntutan.

Surat dakwaan, dibuat oleh penuntut umum setelah ia menerima berkas perkara dan hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik. Dalam hal ia berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka penuntut umum dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan (pasal 140 jo pasal 139 KUHAP). Surat dakwaan adalah sebuah akte yang dibuat oleh penuntut umum berisi perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan. Surat dakwaan tersebut kemudian dilimpahkan kepada pengadilan, bersamaan dengan perkaranya. Surat dakwaan ini dibacakan pada saat permulaan sidang (pasal 155 ayat [2] KUHAP), atas permintaan dari hakim ketua sidang.

Dalam praktik hukum/ proses penuntutan dikenal beberapa bentuk surat dakwaan antara lain sebagai berikut :
1. Surat Dakwaan Tunggal
    Dalam surat dakwaan tunggal terhadap terdakwa hanya didakwakan melakukan satu tindak pidana ,
    misalnya hanya tindak pidana "pencurian" (pasal 362 KUHP) atau hanya tindak pidana "penipuan" (pasal
    378 KUHP) atau hanya "penggelapan" (pasal 372 KUHP).

2. Surat Dakwaan Subsider
    Dalam surat dakwaan berbentuk subsidair didalamnya dirumuskan/disusun beberapa tindak pidana/delik
    secara berlapis/ bertingkat dimulai dari delik yang paling berat ancaman pidananya sampai dengan yang
    paling ringan. Akan tetapi yang sungguh-sungguh didakwakan terhadap terdakwa dan yang harus
    dibuktikan didepan sidang pengadilan hanya "satu" dakwaan.

3. Surat Dakwaan Alternatif
    Dalam surat dakwaan yang berbentuk alternatif, rumusan atau penyusunannya mirip dengan bentuk surat
    dakwaan subsidair yaitu yang didakwakan adalah beberapa delik tetapi sesungguhnya dakwaan yang dituju
    dan harus dibuktikan hanya satu tindak pidana/dakwaan. Jadi terserah kepada penuntut umum,
    dakwaan/tindak pidana mana yang dinilai/dianggap telah berhasil dibuktikan didepan sidang pengadilan
    tanpa terkait pada urutan dari tindak pidana yang didakwakan. 

4. Surat Dakwaan Kumulatif
    Dalam surat dakwaan kumulatif didakwakan secara serempak beberapa delik/dakwaan yang masing-
    masing delik berdiri sendiri (samenloop/concursus/perbarengan).

5. Surat Dakwaan Kombinasi
    Dalam surat dakwaan kombinasi didakwakan beberapa delik/dakwaan secara kumulatif yang didakwakan
    secara kumulatif yang terdiri dari dakwaan subsidair dan dakwaan alternatif secara serempak/sekaligus.

Sedangkan Surat Tuntutan atau dalam bahasa lain disebut dengan Rekuisitor adalah surat yang memuat pembuktian Surat Dakwaan berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan dan kesimpulan penuntut umum tentang kesalahan terdakwa disertai dengan tuntutan pidana. Agar Surat Tuntutan tidak mudah untuk disanggah oleh terdakwa/ penasehat hukumnya, maka Surat Tuntutan harus dibuat dengan lengkap dan benar. Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat Surat Tuntutan :
1.      Surat Tuntutan harus disusun secara sistematis.
2.      Harus menggunakan susunan tata bahasa indonesia yang baik dan benar.
3.      Isi dan maksud dari Surat Tuntutan harus jelas dan mudah dimengerti.
4.      Apabila menggunakan teori hukum harus menyebut sumbernya.

Surat tuntutan diajukan oleh penuntut umum setelah pemeriksaan di sidang pengadilan dinyatakan selesai (pasal 182 ayat [1] KUHAP). Jadi, surat tuntutan dibacakan setelah proses pembuktian di persidangan pidana selesai dilakukan. Surat tuntutan ini sendiri berisikan tuntutan pidana.
 
“Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.


source : penerapan KUHAP dalam praktik, DR. H.M.A. KUFFAL,SH.

Pengacara atau Penasehat Hukum ?

Kita pasti sering mendengar kata profesi "Pengacara" dan juga "Penasehat Hukum". Pasti muncul pertanyaan dalam benak kita, apa sih bedanya pengacara dengan penasehat hukum? atau bedanya hanya dalam penamaan saja? Sebelum berlakunya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UUA”), ketentuan yang mengatur mengenai advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan sehingga pengertian pengacara dan penasihat hukum berbeda. 

Pengacara :
Pengacara biasa adalah seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa hukum di dalam pengadilan di lingkup wilayah yang sesuai dengan izin praktek beracara yang dimilikinya. Sehubungan dengan hal tersebut, apabila pengacara tersebut akan beracara di luar lingkup wilayah izin prakteknya tersebut di atas, maka ia harus meminta izin terlebih dahulu ke pengadilan di mana ia akan beracara.
Pengacara ini dulunya dibedakan dengan advokat. Yang dimaksud dengan advokat adalah seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa hukum kepada orang di dalam pengadilan atau seseotang yang mempunyai izin praktek beracara di pengadilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Pembedaan advokat dan pengacara ini dapat kita temui dalam Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesia (Stb. 1847 Nomor 23 jo. Stb. 1848 Nomor 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya (“RO”). Simak juga artikel Advokat.

Penasehat Hukum :
Penasihat Hukum adalah mereka yang memberikan bantuan atau nasihat hukum, baik dengan bergabung atau tidak dalam suatu persekutuan Penasihat Hukum, baik sebagai mata pencaharian atau tidak, yang disebut sebagai Pengacara/Advokat dan Pengacara Praktek (Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: KMA/05/SKB/VII/1987; Nomor: M.03-PR.08.05 Tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum).
Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberi bantuan hukum (Pasal 1 ayat [13] UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP).
 
Kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No.: 8 Tahun 1987 tentang Penjelasan dan Petunjuk-Petunjuk Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman tanggal 6 Juli 1987 No.: KMA/005/SKB/VII/1987 dan No.: M. 03-PR.08.05 Tahun 1987 yang membagi Penasihat Hukum ke dalam dua kategori:
a.    Para pengacara advokat yang telah diangkat oleh Menteri Kehakiman dan atas dasar itu memperoleh ijin melakukan kegiatan berpraktek hukum di manapun.
b.    Para pengacara praktek yang diberi ijin oleh para Ketua Pengadilan Tinggi untuk berpraktek hukum di dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. 

 Dengan berlakunya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UUA”), baik advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum, semuanya disebut sebagai Advokat (lihat Pasal 32 ayat [1] UUA). Sehingga, dengan berlakunya UUA, tidak ada perbedaan antara pengacara dan penasehat hukum. Semuanya disebut sebagai Advokat yaitu orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang wilayah kerjanya di seluruh wilayah Republik Indonesia (Pasal 5 ayat [2] UUA).

Jadi, sebelum berlakunya UUA, pengacara advokat maupun pengacara praktek adalah termasuk penasihat hukum. Sejak diberlakukannya UUA, baik penasihat hukum, advokat maupun pengacara praktek disebut sebagai Advokat berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UUA.


source : www.hukumonline.com

Rabu, 13 Juli 2011

Beda Jo dan Jis

 
Jo, merupakan kependekan dari kata “juncto”. Menurut buku “Kamus Hukum” yang ditulis JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, “jo” berarti:

 
“juncto, bertalian dengan, berhubungan dengan”
 
Jis, merupakan kependekan dari kata “junctis”. Menurut buku “Kamus Hukum” yang diterbitkan oleh Indonesia Legal Center Publishing, “jis” ini merupakan bentuk jamak dari “jo”, sehingga memiliki arti yang sama dengan juncto namun sedikit berbeda dalam penggunaannya.
 
Contoh penggunaan juncto:
…berdasarkan Pasal 106 ayat (1) UU 32/2004 juncto Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan 15/2008…”
 
Contoh penggunaan junctis:
“…berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi junctis Pasal 29 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah…”
 
Contoh penggunaan juncto dan junctis:
“…sesuai ketentuan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 91 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah junctis Pasal 48 Peraturan KPU Nomor 72 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Di Tempat Pemungutan Suara…”

source : www.hukumonline.com